10 September 2025       49 kali

Di Aula MTs Ma'arif NU Nurul Islam Bades, desa Bades, gema shalawat mengisi ruang—seolah setiap denting nada mengundang hadirin untuk merenung dan menata ulang cara pandang terhadap teladan hidup. Perayaan Maulid dengan tema "Rasulullah Panutanku, Guruku, Idolaku" bukan sekadar seremoni; pada hari itu, kata-kata Ustadz Nahidl Masyhuri mengurai makna mendalam tentang menghidupkan sunnah dan meneladani akhlak Nabi Muhammad ?.


Ustadz Nahidl membuka ceramahnya dengan penegasan: Nabi Muhammad adalah makhluk yang puncak keindahan akhlaknya tak tertandingi. Oleh karena itu, menjadikan beliau sebagai idola dan teladan utama adalah sesuatu yang wajar dan semestinya. “Kita cobalah ikuti segala amalan baik dan akhlak yang beliau contohkan,” tegasnya, mengajak seluruh warga madrasah menjadikan sunnah sebagai praktik nyata dalam keseharian.


Untuk memperkuat pesannya, Ustadz Nahidl mengutip hadits yang menyentuh hati:

??? ?????? ??????? ??? ???????? ???? ??????? ??? ??? ?? ???????.

“Barang siapa menghidupkan sunnah-ku maka ia sungguh mencintaiku, dan barang siapa mencintaiku maka ia akan bersamaku di surga.”


Hadits itu lalu menjadi bingkai bagi penjelasan lebih lanjut: menghidupkan sunnah bukan hanya ritual formal, tetapi meneguhkan cinta melalui perilaku—ucapan lembut, kemurahan hati, kesabaran, dan pengorbanan kecil yang mengakar.


Salah satu poin yang mendapat sorotan khusus adalah pentingnya sedekah—sebuah sunnah sederhana yang sering diremehkan. Ustadz Nahidl menghadirkan kisah Sahabat Jabir bin Abdillah sebagai contoh konkret. Ia menceritakan bagaimana pada masa penggalian parit Menghadapi Perang Khandaq, Nabi sampai menahan lapar dengan mengganjal perut menggunakan tiga batu; setelah itu Jabir dan istrinya memilih menyedekahkan kepunyaan mereka yang terbatas—seekor kambing kecil dan sedikit gandum. Ketika Jabir mengundang Nabi untuk makan, Rasulullah datang beserta para sahabat yang ikut membantu menggali parit. Di momen itulah mukjizat terkuak: makanan yang tampak sedikit lantas cukup untuk ratusan, bahkan seribu orang.


Kisah itu digunakan Ustadz Nahidl untuk menekankan dua hal. Pertama, betapa besar nilai pengorbanan para sahabat yang rela menyerahkan harta demi Rasul dan Islam; kedua, bagaimana berkah Allah meliputi dan melipatgandakan kebaikan yang tulus. Dari sini timbul pesan praktis bagi siswa: jangan ragu memberi—kepada guru, orang tua, maupun kepada yang membutuhkan—karena sedekah dan kebaikan kecil bisa mendatangkan berkah besar.


Dalam artikulasi yang hangat, Ustadz Nahidl juga mengingatkan posisi murid di hadapan guru dan orang tua: seorang murid hendaknya mampu menakar dirinya—menghormati, belajar dengan khidmat, dan tidak durhaka. Merayakan Maulid, menurutnya, seyogianya tak berhenti pada euforia; peringatan harus meresap hingga melahirkan perubahan hati dan tindakan sehari-hari.


Perayaan di madrasah itu sendiri dirangkai sederhana namun khusyuk: enam lantunan shalawat oleh tim Al Banjari membuka suasana, tilawah oleh Fahmi (7A) menyentuh batin, lalu sambutan dan mauizhah hasanah dari Kepala Madrasah. Penutupan disampaikan dengan doa oleh Ustadz Abdul Malik Luthfi dan intermezzo nasyid modern yang menyatukan tradisi dan kreativitas.


Akhirnya, inti dari perayaan tersebut dirangkum dalam harapan yang sama: menjadikan teladan Nabi sebagai cahaya yang membimbing langkah—bukan hanya dalam acara besar, melainkan dalam rutinitas kecil yang sehari-hari. Bila setiap ucapan dan perbuatan kita dipenuhi niat baik dan kesungguhan meneladani, madrasah ini telah menabur benih-benih perubahan yang, Insya Allah, akan tumbuh menjadi akhlak mulia pada generasi mendatang.